KASODO


Kasodo merupakan serangkaian upacara adat masyarakat Tengger untuk mempersembahkan hasil bumi ke Gunung Bromo sebagai ungkapan rasa syukur atas Sang Hyang Widi.
Asal mula upacara Kasodo berawal dari seorang pemuda bernama Jaka Seger yang meminang pemudi cantik, Rara Anteng (Tengger adalah gabungan nama keduanya). Rara Anteng adalah anak dari raja Brawijaya yang kala itu sedang berkuasa, sekitar abad ke-14.
Mereka menikah dan hidup bahagia sampai suatu saat jenuh karena tidak kunjung diberikan buah hati. Maka pergilah mereka ke gunung Bromo untuk berdoa pada dewa agar mereka diberikan anak.
Terkabul, mereka diberikan anak, lagi, dan lagi, sampai jumlahnya 25 orang. Namun, mereka sebelumnya terlanjur berjanji untuk mengorbankan anak terakhirnya. Setelah yakin bahwa anak itu adalah anak terakhir mereka maka untuk menepati janjinya, mereka betul-betul mengorbankan anak bungsunya di kawah Bromo.
Belum berakhir. Setelah itu, terdengar suara seorang anak dari kawah Bromo. Suara itu meminta dirutinkannya persembahan setiap hari ke-14 di bulan Kasodo. Persembahan tahunan itulah yang kemudian banyak disebut-sebut upacara Kasodo. Dua puluh empat anak Rara Anteng dan Joko Seger tersebut yang kemudian menjadi nenek moyang penduduk Tengger  yang sekarang.
Mata rantai pertama dalam rangkaian kegiatan Kasodo adalah pengambilan air dari tiga titik. Ada upacara sendiri untuk kegiatan ini, namanya Mendak Tirta. Tiga sumber air yang dilibatkan yaitu air Gunung Widodaren di lautan pasir, air terjun Madakirapura di Kecamatan Lumbung Probolinggo, dan Watu Plosot di Gunung Semeru.
Satu hari sebelum acara puncak, dukun-dukun dari setiap desa bergumul. Dukun yang dimaksud adalah pemuka agama masyarakat Tengger. Seorang Dukun harus hapal sebuah kitab agar bisa dinobatkan menjadi dukun. Dukun-dukun yang hadir adalah dukun yang akan dinobatkan menggantikan dukun desanya yang sebelumnya. Setiap desa punya dukun masing-masing. Acara ini menjadi semacam regenerasi bagi dukun-dukun itu. Desa yang pada tahun tersebut tidak perlu mengganti dukunnya maka tidak perlu hadir dalam pergumulan dukun-dukun ini. Dukun baru yang terlibat akan dinobatkan menggantikan dukun lama di desanya.
Pada malam sebelum acara pelemparan hasil bumi yang dinobatkan sebagai acara puncak, Pura Poten (Tempat sembahyang yang terdapat di wilayah Lautan Pasir di kaki gunung Bromo) dan sekitarnya sudah riuh. Penduduk membaca-baca mantra, sembahyang, dan mengumpulkan hasil bumi yang hendak dipersembahkan di penghujung malam. Kegiatan ini bisa juga dimasukkan dalam rantai kegiatan upacara Kasodo.
Pelemparan hasil bumi yang dilakukan ketika Subuh itu bukanlah satu-satunya pelemparan. Setelah itu, ada saja yang melemparkan hasil buminya. Jumlahnya lebih sedikit daripada pelemparan yang pertama kali. Masyarakat Tengger merasa punya kewajiban pribadi yang tidak bisa diwakilkan untuk melemparkan hasil buminya dengan harapan  perlindungan, kesehatan, dan panen yang berlimpah dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Hasil bumi yang terlibat bukan hanya sayur-sayuran dan buah-buahan, tapi juga ayam dan kambing. Kadang terlihat kambing yang masih hidup mencoba mendaki kembali setelah dikorbankan.